Sabtu, 21 Maret 2009

Hadis dan Isu-isu Gender

OLeh: Alvi Alvavi Maknuna


Di dalam ayat-ayat Alqur’an maupun sunnah nabi yang merupakan sumber utama ajaran islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan dan kesetaraan, Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat manusia.

Pengertian gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Dalam webster’s new world dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku yang sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah ‘jender’. Jender diartikan sebagai “interpretasi moral dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Di dalam women’s Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarkat[1].

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpukan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat, bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

Jika al-Qur’an dan sunnah mengakui adanya kesetaraan gender lantas dari mana isu-isu tuntutan itu muncul?

Permasalahan muncul karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama yang disebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat dalam masyarakat, sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkan kaum perempuan[2].

Tidak kalah penting adalah adanya fakta bahwa di negara-negara Timur Tengah (Saudi Arabia, Afganistan, Pakistan dsb) memperlakukan perempuan layaknya emas yang harus dilindungi dan simpan rapat hingga tidak diperbolehkan untuk berkiprah di luar rumah. Dan parahnya, dari fakta inilah kemudian William lane (1801-1876), seorang orientalis barat tertarik menyatakan “masalah fatal dalam ajaran Islam adalah perendahan perempuan”[3]

Ada beberapa hal yang melandasi pernyataan tersebut. Diantaranya adanya kesalahpahaman dalam menginterpretasi teks-teks nash. Dalam hal ini penulis hanya akan mengutip beberapa teks matan hadis yang telah disalahpahami oleh kaum feminis (gerakan women’s lib). Hadis-hadis tersebut antara lain[4]:

1. Hadis tentang penciptaan perempuan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ[5]

Tidak tepat kalau hadis di atas diartikan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian dijadikan penjelasan untuk menafsirkan ayat 1 surat al-Nisa’. Sebab secara harfiyah dalam hadis tidak menyebutkan kata Adam dan Hawa. Penafsir tampaknya terpengaruh oleh isra’iliyyat. Untuk menghindari kesalahpahaman , sebaiknya hadis tersebut ditafsirkan secara metaforis, yakni hendaklah laki-laki atau suami bersikap bijaksana, kpenuh kesabaran dan mu’asyarah bi ak-ma’ruf, sebabb wanita itu halus dan sensitif sehingga perlu kesabaran dan kelembutan untuk menghadapinya.

2. hadis tentang kepemimpinan perempuan

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً[6]

Kebanyakan ulama menjadikan ini sebagai dalil larangan wanita menjadi pemimpin padahal untuk memaknai hadis tersebut perlu menyimak sisi historsiical backgroundnya. Hadis disampaikan setelah Rasul mendapat informasi bahwa orang persi menobatkan putri kisra menjadi ratu setelah sebelumnya raja kisra menolak ajakan Nabi untuk masuk islam bahkan merobek surat tersebut. Besar kemungkinan hadis tersebut adalah prediksi nabi bahwa putri Kisra akan mengalami kegagalan.

3. Hadis tentang laknat malaikat kepada istri

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ[7]

Jika hadis ini dipahami secara harfiah, maka akan sangat bertentangan dengan prinsip al-Qur’an “wa ‘asyiruhunna bi al-ma’ruf”. Kata “wahuwa ghadlaban” artinya suami dalam keadaan marah, berarti kalau tidak marah, tidak apa-apa. Apalagi kalau istri sedang lelah, sakit dsb yang menyebabkan tidak bisa ‘menjalankan tugas’ maka suami pun tidak berhak untuk marah, sebab jika suami marah maka telah menyalahi ketentuan “mu’asyarah bi-al ma’ruf” .

4. Hadis tentang puasa sunnah istri

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ[8]

Jika dipahami secara harfiah, hadis ini akan menimbulkan kesalahpaman dan kesan diskriminatif. Padahal ini dari hadis tersebut adalah dalam berumah tangga hendaknya masing-masing pasangan mengetahui apa yang sedang dilakukan pasangannya.

Berdasarkan analisis matan hadis di atas, penulis berkesimpulan bahwa selama ini isu-isu diskriminatif jender sangat bertentangan dengan nash hadis. Apa yang selama ini dituduh oleh aktifis feminisme justru sangat bertentangan dengan islam. Salah satu misi islam adalah memulyakan perempuan. Dan itu terbukti, hadis-hadis yang dituduh misoginis masih kalah banyak dibanding hadis yang memulyakan perempuan. Bukankah nabi juga memerintahkan untuk memulyakan ibu? Bukankah nabi pun pernah mengutus Umm Waraqah untuk menjadi imam salat di keluarganya? Bukankah Aisyah ra juga srikandi perempuan di zamannya?



[1] Artikel “perspektif Gender Dalam Islam” oleh Prof. DR. Nasaruddin Umar. Jurnal pemikiran islam Paramadina, Volume I no. 1, Juli – Desember 1998, hal. 96-97

[3] Wahidudin Khan, Antara Islam dan Barat, terj. Abdullah Ali, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu semesta, 2001), cet.ke 1, h.56

[4] Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, DR. KH. Ahmad Munif Suratma Putra, MA, Al-Qur’an dan Peranan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Institut Ilmu Al-Qur’an, 2007), cet: 1, hal: 35-37

[5] HR. Bukhari, kitab Ahadits al-Anbiya’, bab Khalq Adam wa Dzurriyatihi,no.hadis 3084, juga diriwayatkan oleh imam Muslim

[6] HR. BUkhori, kitab al-Maghazi, babكتاب النبي الى كسرى وقيمر, diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi dan al-Nasaa’i

[7] HR. Bukhori, kitab بدأ الخلق, bab ذكر الملائكة, diriwayatkan juga oleh Muslim dan Abu Daud

[8] HR. Bukhori, kitab al-Nikah, bab, صوم المرأة بإذن زوجها تطوعا no.4793, diriwyatkan juga oeh Imam muslim,,Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah

Rabu, 18 Maret 2009

Mempertegas Posisi Amil

Oleh Ahmad Fathan Aniq

Setiap bulan Ramadhan tiba, umat Islam selalu berlomba-lomba untuk berderma. Tak hanya dengan membayar zakat fitrah, tetapi juga dengan melakukan berbagai bentuk derma yang lain seperti sadaqah, infaq dan waqaf. Zakat al-mal atau zakat harta yang pembayarannya dilakukan tiap kali mencapai masa haul pun biasanya dikeluarkan pada bulan Ramadhan. Hal ini dapat dipahami, mengingat setiap amal kebajikan yang dilakukan dengan ikhlas pada bulan ini akan dilipatgandakan ganjarannya.

Sejalan dengan itu, sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Muslim Indonesia untuk membentuk panitia lokal yang memposisikan diri mereka sebagai ‘amil, atau sebuah badan yang berfungsi mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, infaq dan sadaqah tersebut. Mereka tumbuh menjamur bak cendawan di musim hujan. Jumlah mereka berbilang, hampir di setiap desa terdapat kepanitian ‘amil.

Hal ini memiliki nilai positif. Karena derma yang dikeluarkan oleh seorang muzakki akan melewati kepanitian ‘amil sebelum akhirnya sampai kepada delapan kelompok orang yang berhak menerimanya yang disebut mustahiqqun. Dalam proses ini, ‘amil menempati posisi yang sangat penting, sehingga wajar saja kalau dalam al-Qur’an mereka ditempatkan pada posisi ketiga sebagai mustahiq setelah kelompok faqir dan miskin. Penempatan mereka pada nomor urut ketiga tentu bukan tanpa makna, tetapi merupakan penegasan akan pentingnya keberadaan mereka pada upacara derma. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa zakat al-mal yang dikeluarkan tanpa melalui ‘amil akan dianggap sebagai sadaqah tathawwu’ah biasa dan tidak bisa menggugurkan kewajiban zakat al-mal tersebut.

Salah satu di antara sekian banyak fungsi ‘amil yaitu untuk menghilangkan budaya patronase atau budaya hutang budi antara si pemberi dan si penerima. Tujuan disyari’atkannya zakat al-mal selain untuk menyucikan harta seorang muzakki adalah untuk memperkecil atau bahkan menghilangkan sama sekali gap atau jarak antara si kaya dan si miskin, dan inilah yang disebut keadilan. Kata keadilan dan kata-kata yang senada dengannya seperti al-qisth dan al-mizan merupakan kata ketiga yang paling sering disebut dalam al-Qur’an setelah kata “Allah” dan “ilmu pengetahuan”. Karena keadilan merupakan cita-cita ideal zakat, maka pemberian dengan niat menciptakan patronase adalah bertentangan dengan tujuan luhur zakat. Memang, sebagian orang ketika berderma secara langsung mungkin tanpa disertai dengan maksud riya’ ataupun menciptakan patronase tadi. Tetapi ketika si mustahiq menerima uluran tangan si kaya, tanpa disadari dia akan merasa berhutang budi terhadap si pemberi. Maka, ini seakan menegaskan bahwa si penerima sudah seharusnyalah tunduk dan patuh terhadap si pemberi, dan inilah yang disebut budaya patronase.

Memang berat untuk memberi tanpa harus diketahui orang lain. Tetapi disinilah kita diuji untuk berbuat dan beramal secara ikhlas. Apakah perbuatan kita selama ini semata-mata diniatkan untuk Allah Swt. ataukah juga untuk berhala-berhala penghormatan dan sanjungan dari orang lain? Hanya Allah dan hati kita sendiri yang tahu.
Kita tentu sering mendengar kasus pembagian zakat yang sebenarnya diawali dengan niat baik tetapi akhirnya berakhir dengan duka yang sangat memilukan. Kejadian yang paling akhir tentunya tewasnya 21 orang dhu’afa yang memperebutkan dana zakat sebesar tiga puluh ribu rupiah per orang di Pasuruan. Ini tentu akibat kelalaian pihak pemberi. Mungkin kejadiannya akan menjadi lain kalau H. Syaikhon selaku muzakki mempercayakan dana zakatnya kepada ‘amil. ‘Amil tentu memiliki data orang-orang yang berhak menerima zakat.

Pada titik ini, sekali lagi, ‘amil akan menjadi pihak ketiga yang menjadi penghubung antara si kaya dan si miskin. Si kaya menyerahkan sebagian hartanya yang di dalamnya terdapat hak-hak orang miskin kepada ‘amil, dan ‘amil menyerahkan harta tersebut kepada para mustahiq tanpa harus memberi tahu siapa si pemberi. Dengan itu, si penerima atau mustahiq akan menerima harta zakat yang memang sudah menjadi hak mereka dengan penuh kebahagiaan dan tanpa ada rasa beban budi terhadap si pemberi. Dan dengan itu juga, dia akan merasakan indahnya beragama Islam. Betapa Islam dengan syari’atnya begitu menghargai persamaan dan keadilan dan tentunya mengangkat mereka yang kecil dan terpinggirkan. Maka benarlah sabda Rasulullah Saw. bahwa Allah berada sangat dekat dengan orang miskin dan yang dizholimi. Wallahu A’lam.

Diterbitkan di “an-Nur” Edisi bulan Ramadhan, Lembar Dakwah Santren al-Muniriyah Rempung Lombok Timur. 26092008